Manado, FAKTA88--Pembebasan lahan Pertamina Geothermal Energy Lahendong senilai Rp2,8 miliar disinyalir total lost dan berakibat kerugian Negara. LSM Rakyat Antikorupsi (RAKO) Sulawesi Utara mengantongi informasi bahwa PGE terpaksa merugi karena proses pembebasan lahan yang salah karena persekongkolan mafia tanah. Buntutnya, lahan yang sudah dibeli itu tidak bisa didaftarkan ke daftar aset BUMN karena diblokir pemilik lahan yang sesungguhnya yakni Keluarga Roring - Koilam.
Rike Koilam, istri Jefry Roring (ahli waris) menjelaskan, Pertamina membayar lahan kepada warga yang tidak berhak dan hanya berdasarkan Surat Pembagian Warisan yang hilang dari tangan keluarga Paulus Roring. Tindakan Pertamina ini bukan merugikan keluarga Jefry Jems Roring sebagai penerima waris yang sah. Namun Pertamina itu sendiri. PGE Lahendong disebut harus merugi lebih dari Rp2 miliar karena tindakan haru biru pembebasan lahan yang tidak tepat sasar.
Pemilik lahan Jefri J. Roring dan istrinya Rike Koilam menceritakan, lahan seluas hampir 20.000 meter persegi itu adalah warisan yang sah dari Joel Roring Paendong kepada Paulus Roring.
Lantas dari Paulus Roring diwariskan lagi kepada Jefry Jems Roring. Pembagian warisan itu dibuktikan dengan surat tertanggal 19 Januari 1996.
“Kami heran dan kaget, surat itu berpindah tangah ke Noch Roring. Entah kenapa, Noch Roring pernah bermohon kepada Pemerintah Kabupaten Minahasa, yakni mantan Hukum Tua Desa Pinabetengan untuk membatalkan surat pembagian warisan tanah tersebut,” kata Jefry Roring yang diamini sang istri Rieke Koilam.
Selanjutnya pada tanggal 4 Agustus 2004 silam diadakan musyawarah di Kantor Kecamatan Tompaso Barat, dimana musyawarah itu menyimpulkan bahwa tanah tersebut adalah milik dari Keluarga Paulus Roring-Supit, dan dihibahkan kepada Keluarga Jefri J. Roring-Koilam.
Nah bulan November 2021 keluarga Roring - Koilam mendengar bahwa tanah keluarga kami akan dibeli PT. Pertamina Geothermal Energi Lahendong. Bulan Februari 2022, Pertamina melakukan sosialisasi mengenai pembebasan tanah yang difasilitasi oleh Hukum Tua Desa Pinabetengan Elsje Tandayu.
"Mereka mengundang semua pemilik tanah yang akan dibebaskan atau diganti untung,” ujarnya.
Namun katan Jefry, hingga tanah keluarga mereka sudah beralih kepemilikan kepada Pertamina, tidak pernah ada pemberitahuan apapun kepada keluarga sebagai ahli waris.
"Hanya pernah meminta nomor telepon dan tidak pernah dihubungi oleh pihak Pertamina maupun Hukum tua dan pihak-pihak terkait,” ungkap Rike Koilam.
Menurutnya, surat pembagian warisan itu sempat dipegang Hukum Tua. Namun ironisnya, Hukum Tua tidak pernah mau membuka Nomor Register kepada ahli waris Jefry Jems Roring.
Rieke menerangkan, pihaknya sudah mengajukan peningkatan hak dan saat ini sedang mengisi formulir. Persoalannya, Surat Ukur yang dibutuhkan untuk melengkapi daftar isian formulir tidak diberikan oleh aparatur desa.
"Formulirnya sudah kami ambil. Tapi kendala Surat Ukur tidak diberi aparat Desa Pinbetengan," terang Rieke.
Lanjut Rieke, PGE tetap tidak sah dan bahkan tidak menjadi pembeli yang beretikad baik karena tidak melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai legalitas hak atas tanah tersebut. PGE ternyata membeli dari seseorang yang mengaku ahli waris tapi pada kenyataannya ada Jefry Roring yang merupakan penerima warisan yang sah berdasarkan Surat Keterangan Pembagian Warisan.
Dengan kondisi hukum yang terjadi praktis, PGE tidak berhak mengajukan SHM ke BPN Minahasa. Inilah yang membuat PGE sebagai BUMN harus merugi.
Aktivis RAKO Harianto menjelaskan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Jika persekongkolan tersebut melibatkan penyalahgunaan wewenang atau penyuapan yang merugikan keuangan negara, maka dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum: Persekongkolan yang menyebabkan kesalahan dalam pembayaran lahan dapat melanggar ketentuan dalam undang-undang ini, terutama jika menghambat proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
"Di sini kami memandang ada persekongkolan jahat yang membuat BUMN rugi. Boleh jadi ada konfirmasi untuk meraup keuntungan dari penjualan obyek tanah Rp2 miliar lebih. Jika memperhatikan tindakan buru buru PGE dalam melakukan transaksi pembelian tanpa verifikasi tingkat desa, ada kemungkinan konspirasi itu sudah dirancang terlebih dahulu untuk memberikan keuntungan bagi oknum-oknum di PGE. Kami minta Polda Sulut usut kasus ini," desak Ketua Aliansi Rakyat Antikorupsi (RAKO) Sulut Harianto Nanga SIP.
(rt)